RSS

Yang Lebih Pantas

04 Sep

sudah seminggu kami tak bertemu, dan selama itu pula ia tak pernah membalas pesan yang kukirimkan ke ponselnya, pun sekedar memberi kabar.

paska diopname selama satu minggu sebelumnya, ia kembali ke kota asalnya. mungkin berada di tengah keluarga akan membuat kondisinya cepat pulih.

“hey, maaf ya aku belum ngasih kabar sejak pulang ke rumah”

sebuah pesan singkat darinya. kenapa baru sekarang, fikirku. tak bisakah ia meluangkan waktunya sedikit untuk mengabariku? tak pernah aku menuntut banyak waktunya untuk berkomunikasi denganku, hanya ingin tahu kabarnya.

“iya, gapapa. kapan kamu ke sini lagi?” balasku.

“senin udah di sana lagi kok. nanti langsung ketemu ya, ada yang mau aku obrolin nih sama kamu”

Deg! perasaan macam apa ini? dadaku berdegup hebat.

“yuk! kangen juga aku ngobrol sama kamu, kan lama ga ketemu :)” balasku lagi.

sampai di sini, ia tak lagi membalas. sudah biasa, batinku.

***

“aku ke kosan kamu ya, tunggu di depan”

pesan singkat yang sangat singkat darinya, tak perlu balasan. belum habis sebatang rokok yang kuhisap, raut wajahnya muncul di hadapanku. raut wajah yang kurindukan selama seminggu ini. bukan faktor waktu yang membuatku merindukannya, tapi keganjilan entah apa, yang membuatku ingin sesegera mungkin bertemu dengannya, sesegera mungkin ingin mengetahui obrolan apa yang ia bawa.

“hey, kamu kok kayak ga keurus gitu sih? udah makan? udah mandi belom?” sambarnya seketika.

setelah menjawabnya dengan senyum, aku mengajaknya masuk.

***

terjadi adegan klasik seperti setiap pertemuan pertama setelah lama tak jumpa, penuh basa-basi. menanyakan kabar, apa yang dilakukan selama terpisah pandang, dan segudang pertanyaan tak penting lainnya.

dengan segala keresahan yang kutahan, juga penasaran yang mendesaknya dari belakang, aku menanyakan apa yang ingin ia obrolkan denganku.

lama terdiam, suaranya terdengar agak parau. terlihat bulir bening menggumpal di sudut matanya, yang kiri, juga kanan.

“kamu ga salah apa-apa, ini semua aku yang salah.”

apa ini? aku bertanya-tanya dalam hati. lalu ia meneruskan.

“kayaknya, kita sampe sini aja ya”

DEG! aku tersihir, diam. keras aku berfikir, mungkin aku berbuat salah. tapi apa? aku meyakini bahwa aku tak membuat kesalahan sama sekali, pun pengkhianatan. sesempurna mungkin aku mencintainya, melakukan apa-apa saja yang ia inginkan tanpa perintah, bahkan tak pernah aku membuatnya bersedih. tapi ada apa dengan ini semua? kenapa tiba-tiba ia seperti ini?

“maksudnya apa?” aku bertanya, pelan sekali.

selanjutnya, ada tangis yang pecah. sepasang mata menjadi mata air. deras, namun tenang suaranya.

ia merasa bahwa selama ini telah mengecewakanku, bersikap seenaknya, semaunya, tak terlalu menganggapku sebagai kekasihnya. semua sikapnya selama ini jelas kurasa, namun tak pernah bagiku mengeluhkannya.

bahkan ketika ia memintaku untuk jangan telalu mesra terhadapnya di hadapan seorang teman lelakinya yang menyukainya, aku tak apa. ia memintaku menjaga perasaan lelaki lain yang menyukainya.

bisa kalian bayangkan bagaimana perasaanku? lelaki mana yang mau menjaga perasaan lelaki lain yang mencintai kekasihnya sendiri?

namun semua ini kulakukan, dengan awalan yang berat, seperti ketika kau mendaki gunung dengan carrier bag ukuran 10kg yang menempel dipunggungmu. namun seiring perjalanan, beban itu semakin berkurang. perlahan beban carrier bag tersebut menghilang, kau pergunakan segala yang ada di dalamnya, bertahap. hingga saat kau tiba di puncaknya, tak ada beban lagi kau rasa. karena segala beban yang kau bawa, kini tak lagi ada.

segala macam argumen kugunakan untuk mendebatnya demi mempertahankan hubungan ini, termasuk siapa yang sebenarnya lebih berhak meminta menyudahi hubungan ini. secara logika jelas aku yang menang, tapi perempuan tak pernah kalah dalam urusan perasaan.

aku mengiyakan. kesedihan menyergapku, dari hati, hingga ke pikiran.

“tapi ga menutup kemungkinan, nanti, entah kapan, besok, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan, aku yang akan minta kamu jadi kekasihku”

dia mengatakan itu dengan senyum, bisa-bisanya.

kalau memang seperti itu rencananya, lalu untuk apa hubungan ini diakhiri? toh nantinya akan kembali lagi. apa yang hendak kau cari? batinku merasa kesal, urat wajahku mulai tampak.

“aku minta sama kamu, tolong jaga perasaan sayang kamu ke aku ya. aku juga akan ngelakuin itu untuk kamu. kita kayak biasanya aja, kayak kemarin-kemarin waktu kita masih pacaran”

kalimat itu, apa namanya kalau bukan menggantungkan? aku diserang kegalauan. kepalaku mengangguk begitu saja. bodoh!

***

seminggu, kami masih berkomunikasi dengan baik, bahkan sikapnya lebih baik melebihi saat kami masih berpacaran. apa ini? perasaanku dibuat tak menentu, pekerjaanku kubiarkan berantakan. selemah inikah diriku?

minggu kedua dan seterusnya, semua tak lagi sama, semakin gelap.

kawan-kawan mulai mempertanyakan kinerjaku, bertanya kemana aku yang dulu.

hari-hariku semakin kacau, tak produktif, bahkan orang-orangan sawah lebih bermanfaat daripada diriku.

sekian lama waktu berlalu, aku menyadari tak mungkin seperti ini terus-menerus. aku punya kehidupan, bukan hidup dalam kematian seperti ini.

aku meyakini, banyak orang lain yang masih menyayangiku, dan akan ada orang lain yang lebih pantas menerima kasih sayangku. kini tiba waktunya, aku menghapuskan “kita” dari pikiranku, dari diriku.

karena menyayangi “kita”, lebih baik dari sekedar menyayangimu.

 

 

#30HariLagukuBercerita

inspired by : Someday – Nina

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada September 4, 2012 inci #30HariLagukuBercerita

 

Tinggalkan komentar